PWM Sulawesi Selatan - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Sulawesi Selatan
.: Home > Berita > Dr. IRWAN AKIB : QORBAN ADALAH JALAN KESUKSESAN DAN KEMENANGAN

Homepage

Dr. IRWAN AKIB : QORBAN ADALAH JALAN KESUKSESAN DAN KEMENANGAN

Sabtu, 04-10-2014
Dibaca: 1642

Makassar - "Ibadah haji dipenuhi oleh manasik-manasik (tatacara dan upacara) yang jika disadari dan dihayati akan menimbulkan rasa kecintaan dan ketaatan kepada Allah SWT, serta rasa persatuan dan persaudaraan di kalangan sesama manusia. Para jemaah haji melakukan tawaf mengelilingi Ka`bah, meniru gerakan elektron-elektron yang bertawaf mengelilingi inti atom serta meniru gerakan planet-planet yang bertawaf mengelilingi matahari. Seluruh isi jagad raya, dari partikel-partikel penyusun materi sampai benda-benda langit, senantiasa tunduk-patuh kepada hukum-hukum Allah yang mengatur mereka. Dengan melakukan ibadah tawaf yang melambangkan ketaatan alam semesta, diharapkan manusia sebagai bagian alam semesta menyadari bahwa mereka seharusnya tunduk-patuh kepada aturan-aturan Allah sebagaimana tunduk-patuhnya seluruh isi langit dan bumi." jelas Dr. H. Irwan Akib, M.Pd., ketika menyampaikan Khutbah Idul Adha 1435 H di Lapangan Pusat Dakwah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, Sabtu (4/10/2014). Beliau adalah Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan PWM Sulsel sekaligus Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar. 

 

Lebih lanjut ia menguraikan bahwa dalam menunaikan Ibadah Haji beraneka ragam umat manusia yang berbeda-beda warna kulit, bahasa dan adat-istiadat, semuanya memakai pakaian ihram yang sama, melakukan tatacara dan upacara yang sama. Di hadapan Allah tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat jelata kecuali ketaqwaan mereka. 

 

Lebih lengkapnya, berikut kami sampaikan petikan khutbah Idul Adha 1435 H oleh Dr. H. Irwan Akib, M.Pd.

 

QORBAN : JALAN KESUKSESAN DAN KEMENANGAN

 

As-salaamu `alaikum wa rahmatullaah wa barakaatuh.

 

Al-hamdu li l-Laahi l-ladzii arsala rasuulahuu bi l-hudaa wa diini l-haqq, li yuzh-hirahuu `ala d-diini kullih, wakafaa bi l-Laahi syahiidaa.Asyhadu an laa ilaaha illa l-Laah, wahdahuu laa syariikalah. Wa asyhadu anna muhammadan `abduhuu wa rasuuluh, al-ladzii laa nabiyya ba`dah. Allaahumma shalli wa sallim wa baarik `alaa muhammad, wa `alaa aalihii wa shahbihii wa man waalah.

 

`Ibaada l-Laah, ittaqu l-Laaha haqqa tuqaatih, wa laa tamuutunna illaa wa antum muslimuun.

 

Yaa Rahman, inilah kami para hamba-Mu. Kami datang bersimpuh di hadapan kebesaran-Mu. Inilah kami, yaa ‘Aziiz, makhluk-makhluk-Mu yang lemah dan tak berdaya, kini duduk di hadapan altar kemuliaan dan keagungan-Mu. Ya Rahiim, inilah kami hamba-Mu yang tak pernah luput dari kesalahan dan dosa, sering lalai dan alpa, yang acapkali bertengkar untuk memperebutkan bangkai-bangkai dunia; kini kami hadir menyerahkan segenap jiwa dan raga di depan pintu kekuasaan-Mu.  Yaa Rahman, kami hadir berkumpul ditempat ini hanya untuk menggapai ridla dan janji-Mu. Engkaulah Dzat yang maha mengetahui apa yang telah kami lakukan.

 

Bagi-Mu, segala puji wahai Dzat yang telah menunjuki kami dengan agama-Mu. Kami bersaksi, bahwa tiada Rabb yang patut disembah selain Engkau, wahai Dzat yang Maha Agung dan Maha Mulia, yang keagungan dan ke-muliaan-Mu tidak akan sirna, meskipun seluruh manusia Kafir dan durhaka kepada-Mu. Yaa Rahman, kami bersaksi, bahwa Nabi Muhammad saw. adalah utusan-Mu, suri teladan bagi seluruh umat manusia. Shalawat dan salam semoga Engkau limpahkan kepada beliau saw, keluarga, kerabat dan shahabat beliau, serta kaum Muslim yang secara konsisten dan konsekuen menjalankan dan mendakwahkan Islam hingga Hari Kiamat.

 

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.Laa ilaaha illa l-Laahu wa l-Laahu Akbar. Allaahu Akbar wa li l-Laahi l-hamd.

 

Hadirin dan hadirat yang dimuliakan Allah SWT,

 

Pada hari ini, tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam di seluruh penjuru bumi, yang jumlahnya   miliaran  jiwa dan merupakan seperlima penduduk dunia, tersebar dari Maroko sampai Merauke, kini sedang merayakan Idul Adha. Kita sambut hari raya yang mulia ini dengan takbir dan tahmid. Kita agungkan kebesaran Allah, dan kita syukuri nikmat Ilahi. Umat Islam di seluruh penjuru dunia melantunkan Kalimah takbir dan tahmid menggema memenuhi angkasa, menyentuh rasa, menggugah jiwa, dan membangkitkan semangat pada lubuk hati setiap insan yang beriman kepada Allah SWT.

 

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Maha Besar Allah! Selain dari Dia, kecil semuanya!

 

Pada pagi yang cerah ini, kaum Muslimin dan Muslimat berbondong-bondong memenuhi lapangan, berbaris dalam susunan saf yang teratur rapi, menyatakan ruku’ dan sujud kepada Ilahi.

 

Pada hari yang mulia ini, di tengah gurun pasir Arabia, di suatu lembah bernama Mina, kini tengah berkumpul jemaah haji dari berbagai bangsa dan negara, dalam rangka menunaikan rukun Islam yang kelima. Kemarin, tanggal 9 Dzulhijjah, mereka telah melaksanakan puncak acara ibadah haji, yaitu wuquf di Padang Arafah.  Jutaan saudara-saudara kita berdatangan dari segenap penjuru bumi, menempuh perjalanan darat yang melelahkan, mengarungi samudera luas bergelombang besar, dan menembus lapisan atmosfer berawan tebal, berdatangan ke tanah suci memenuhi panggilan Ilahi. LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK. Inilah saya ya Allah, inilah saya, datang memenuhi panggilan-Mu.

 

Hadirin dan hadirat yang berbahagia,

 

Perintah mengerjakan haji tercantum dalam Surat Ali Imran ayat 97 yang berbunyi:

 

Wa li l-Laahi `alaa n-naasi hijju l-baiti man istathaa`a ilaihi sabiilaa. Wa man kafara fa inna l-Laaha ghaniyyun `ani l-`aalamiin

 

 (“Dan kewajiban kepada Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang ingkar akan kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam.”)

 

Panggilan Ilahi kepada manusia untuk berhaji sudah berlangsung ribuan tahun sebelumnya, sejak perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. sekitar 4000 tahun yang silam, sebagaimana diabadikan dalam Surat Al-Hajj ayat 27 dan 28:

 

Wa adzdzin fi n-naasi bi l-hajj. Ya’tuuka rijaalan wa `alaa kulli dhaamir. Ya’tiina min kulli fajjin `amiiq, li yasyhaduu manaafi`a lahum

 

 (“Panggillah manusia untuk berhaji. Mereka akan mendatangimu dengan berjalan kaki dan dengan berkendaraan. Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh, agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.”)

 

Ibadah haji dipenuhi oleh manasik-manasik (tatacara dan upacara) yang jika disadari dan dihayati akan menimbulkan rasa kecintaan dan ketaatan kepada Allah SWT, serta rasa persatuan dan persaudaraan di kalangan sesama manusia. Para jemaah haji melakukan tawaf mengelilingi Ka`bah, meniru gerakan elektron-elektron yang bertawaf mengelilingi inti atom serta meniru gerakan planet-planet yang bertawaf mengelilingi matahari. Seluruh isi jagad raya, dari partikel-partikel penyusun materi sampai benda-benda langit, senantiasa tunduk-patuh kepada hukum-hukum Allah yang mengatur mereka. Dengan melakukan ibadah tawaf yang melambangkan ketaatan alam semesta, diharapkan manusia sebagai bagian alam semesta menyadari bahwa mereka seharusnya tunduk-patuh kepada aturan-aturan Allah sebagaimana tunduk-patuhnya seluruh isi langit dan bumi.

 

Firman Allah SWT dalam Surat Ali Imran ayat 83:

 

Afa ghaira diini l-Laahi yabghuun, wa lahuu aslama man fi s-samaawaati wa l-ardhi thau`an wa karhan wa ilaihi yurja`uun.

 

(“Apalagi yang mereka cari selain agama Allah, padahal kepadaNya telah tunduk-patuh segala yang di langit dan di bumi dengan rela atau terpaksa, dan kepadaNya mereka akan dikembalikan.”)

 

Dalam menunaikan ibadah haji, beraneka ragam umat manusia yang berbeda-beda warna kulit, bahasa dan adat-istiadat, semuanya memakai pakaian ihram yang sama, melakukan tatacara dan upacara yang sama. Di hadapan Allah tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat jelata kecuali ketaqwaan mereka. Para jemaah haji melakukan wuquf di Padang Arafah, melakukan upacara gladi resik Padang Mahsyar di hari akhirat nanti, sekaligus melakukan reuni di tempat pertemuan Adam dan Hawa setelah kedua nenek moyang umat manusia ini terusir dari Taman Eden (Jannatun `Adn). Itulah sebabnya tempat itu dinamai Padang Arafah, artinya “Padang Pengenalan”, agar manusia menghayati persaudaraan sebagai sesama anak cucu Adam dan Hawa.

 

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Hujurat ayat 13:

 

Yaa ayyuhaa n-naas, innaa khalaqnaakum min dzakarin wa untsaa, wa ja`alnaakum syu`uuban wa qabaa’ila li ta`aarafuu. Inna akramakum `inda l-Laahi atqaakum. Inna l-Laaha `aliimun khabiir

 

(“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), kemudian Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengawasi.”)

 

Dengan penegasan Allah SWT ini maka segala bentuk diskriminasi tidak mendapat tempat dalam masyarakat Islam.  Ajaran Islam sejak semula meniadakan dinding rasial dan jenis manusia lalu mengembalikan manusia itu kepada asal yang satu. Semua manusia berhak untuk berhimpun di bawah perlindungan ajaran Islam tanpa memandang warna kulit dan asal-usul keturunan, bahkan juga tanpa memandang agama dan keyakinan. Islam tidak mengenal batas teritorial, sebab bumi seluruhnya kepunyaan Allah dan segala isinya disediakan Allah untuk manusia. Namun hal ini tidaklah berarti Islam menghapuskan idea nasionalisme. Menurut Surat Al-Hujurat ayat 13 tadi, adanya manusia berbangsa-bangsa adalah kehendak Allah.  Dalam ajaran Islam faham nasionalisme dipelihara dengan makna yang baik, yaitu bersatu untuk mencapai tujuan bersama dari seluruh anggota bangsa itu, serta menjalin hubungan baik dan saling membantu dengan bangsa-bangsa lain.

 

Allahu Akbar, wa lillahil-hamd.

 

Hadirin dan hadirat yang dimuliakan Allah SWT,

 

Pada hari raya Idul Adha yang bersejarah ini, kita juga mengenang Peristiwa Qurban yang diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Ibrahim a.s. dan putra beliau, Nabi Isma`il a.s. Kita mengenang peristiwa itu sebagai lambang puncak ketaqwaan dan kesabaran.

 

Perintah Allah kepada hambaNya, Ibrahim, bukanlah perintah untuk menyembelih hewan sembelihan, melainkan perintah untuk menyembelih anak kandungnya sendiri, yaitu pemuda Isma`il yang baru berusia 13 tahun dan sangat dikasihi oleh sang ayahanda. Di samping sebagai anak kesayangan, Isma`il merupakan anak satu-satunya bagi Ibrahim saat itu (sebab Ishaq belumlah lahir pada saat perintah Allah itu datang). Isma`il merupakan anak yang diperoleh Ibrahim pada hari tuanya, melalui doa demi doa yang dipanjatkan Ibrahim dalam jangka waktu yang lama, dengan maksud agar memperoleh keturunan yang akan melanjutkan penyebaran ajaran Allah. Isma`il, seorang anak yang dibesarkan dan dididik secara sempurna sehingga tumbuh menjadi pemuda yang hampir tiada cacat dari segala aspeknya, kini diperintahkan untuk disembelih oleh tangan ayahnya sendiri.

 

Sungguh suatu cobaan yang amat sangat berat bagi seorang ayah, kita dapat merasakan dan membayangkannya. Namun karena yang memerintahkan itu adalah Allah, maka perintah penyembelihan itu disanggupi Ibrahim tanpa ragu-ragu. Ketika perintah Allah itu disampaikan oleh Ibrahim kepada sang anak, dan ketika Isma`il ditanyai pendapatnya oleh sang ayah, maka Isma`il yang masih dalam usia remaja itu menjawab:

 

(“Wahai ayahanda, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah. Insya Allah, ayah akan mendapatiku sebagai anak yang shabar.”) (QS. As-Shaffat 102)

 

Maka Ibrahim membawa Isma`il ke daerah Mina, ke suatu bukit yang kini disebut Jabal Qurban. Tiga kali Iblis menggoda Ibrahim untuk membatalkan niatnya, dan tiga kali pula Ibrahim menolak rayuan Iblis dengan lontaran kerikil. Penolakan terhadap godaan syaithan ini diabadikan Allah berupa syari`at melontar tiga jumrah di Mina bagi para jemaah haji. Setelah Isma`il direbahkan pada batu landasan penyembelihan, dan pedang ayahnya telah siap hendak menyentuh lehernya, maka ketika itu Allah Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana berfirman agar Ibrahim mengganti sembelihannya dengan seekor domba yang besar. Firman Allah SWT: “Sesungguhnya ini benar-benar hanya ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan seekor domba yang besar.”) (As-Shaffat 106 – 107)

 

Peristiwa Qurban ini melukiskan perpaduan keinginan yang teguh dari ayah dan anak, generasi pendahulu dan generasi penerus, yang sama-sama menempatkan pengabdian dan ketaatan kepada Allah di atas segala-galanya. Peristiwa Qurban ini menggambarkan sifat keteguhan iman, ketabahan hati serta kerelaan berkorban, yang dilandasi sikap menumpahkan kecintaan hanya kepada Allah semata-mata. Istilah ‘qurban’ berasal dari kata sifat qarib (dekat) dan kata kerja qaraba (mendekat). Pengertian ini erat hubungannya dengan proses taqarub, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT. “Mendekat” artinya “memperkecil jarak”, dan hal ini akan terlaksana jika seseorang memiliki kecintaan apa yang akan dia dekati. Tanpa adanya rasa cinta, tidak mungkin kita tergerak untuk mendekati sesuatu. Oleh karena itu ibadah qurban merupakan manifestasi kecintaan yang luhur kepada Sang Maha Kekasih, yaitu Allah SWT.

 

Semangat dan kerelaan berqurban yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Isma`il a.s. hendaklah menjiwai sikap hidup kita, sehingga kita dapat menunaikan perintah Allah untuk berjuang dijalanNya dengan amwal wa anfus (harta dan potensi diri). Marilah kita jadikan Idul Adha sekarang ini sebagai momen penggugah kesadaran kita untuk secara bersama-sama mencurahkan pikiran, tenaga dan dana untuk membantu saudara-saudara kita yang saat ini tengah dilanda berbagai kesulitan hidup, misalnya tertimpa bencana alam atau pun yang putra-putrinya tidak dapat bersekolah karena kekurangan biaya.

 

Mudah-mudahan rasa persaudaraan di antara seluruh anggota masyarakat senantiasa terealisasi dengan perbuatan nyata, sehingga kita menjadi pribadi-pribadi taqwa, yaitu orang-orang yang “memberikan apa yang dia miliki untuk mensucikan diri, meski tidak seorang pun menganugerahinya balas jasa, melainkan semata-mata mencari Wajah Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan pasti dia akan memperoleh ridha”

 

Allahu Akbar wa Lillahil-hamd.

 

Hadirin dan hadirat yang berbahagia.

 

Allah SWT telah menakdirkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang umat Islamnya paling banyak di muka bumi. Suatu hal yang sering dilupakan dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah adalah kenyataan dan fakta-fakta tak terbantah bahwa agama Islam telah menanamkan benih-benih integrasi di kalangan suku-suku di Nusantara, yang buahnya kita nikmati hari ini berupa “Persatuan Indonesia” yang sering kita banggakan. Setelah Islam tersebar di Nusantara, mulailah berlangsung persaudaraan dan pembauran antar suku yang belum pernah ada sebelumnya. Baru pada zaman Islam, seseorang dari suatu daerah tertentu dapat menjadi tokoh penting di daerah yang lain, dengan tidak memandang dari suku apa dia berasal, karena telah diperekatkan oleh ajaran suci Al-Qur’an bahwa “sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara”.

 

Betapa besar peranan Islam dalam melahirkan dan memupuk integrasi bangsa Indonesia. Ketika pada awal abad ke-20 muncul faham nasionalisme yang berkulminasi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, gagasan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan” itu segera memperoleh respons positif dari masyarakat di seluruh Nusantara. Hal itu disebabkan kenyataan bahwa benih-benih persatuan dan kesatuan nasional memang telah ditanam dan disemaikan oleh ajaran Islam berabad-abad sebelumnya di seantero penjuru kepulauan tanah air kita.

 

Ada baiknya kita renungkan firman Allah dalam Surat Alu Imran ayat 102: “Dan berpegang-teguhlah kamu sekalian kepada tali Allah bersama-sama, dan janganlah kamu bercerai-berai. Dan selalu ingatlah nikmat Allah atas kamu sekalian, ketika dahulunya kamu bermusuhan  maka Dia mempersatukan di antara hati kamu sekalian, sehingga jadilah kamu dengan nikmat-Nya satu bangsa yang bersaudara.”

 

Hadirin dan hadirat yang berbahagia.

 

Akhirnya, marilah kita memanjatkan doa kepada Allah `Azza wa Jalla. Semoga Dia berkenan mengabulkan segala permohonan kita.

 

Allahumma Ya Rabbana, telah banyak Engkau berkahi kami dengan rahmat karunia-Mu, namun kami sering menganiaya diri kami sendiri. Betapa banyak sudah dosa yang kami lakukan, sehingga kami malu berdoa kepada-Mu. Namun, kemana lagi kami harus mengadu dan memohon ampun Ya Allah, kecuali hanya kepada-Mu. Kami tidak putus harapan mengadu pada-Mu. Kami tidak letih meminta dan mengharap pada-Mu. Betapapun besarnya kesalahan dan dosa kami, maaf dan ampunan-Mu meliputi segala sesuatu.

 

Karena itu

·         Ya Allah, terangilah hati dan otak kami sehingga kami faham yang benar itu benar untuk kami ikuti dan yang salah itu salah untuk kami hindari.

·         Ya Allah, Yang Maha Pengampun, maafkan dosa-dosa dan dusta kami, dan beri kami kekuatan untuk tidak larut di dalamnya. Tanpa maaf dan ampunanMu ya Allah, akan sangat sukar bagi kami untuk bergerak menuju cahayaMu, cahaya yang menerangi langit dan bumi.

·         Ya Allah, tetapkan kami istiqamah di atas jalan-Mu, hidup beriman dan bertaqwa.

·         Ya Allah, hindarkan kami dari kehidupan hawa nafsu, boros, mubazzir dan bermewah-mewah.

·         Ya Allah, suburkan rasa kasih sayang di antara kami sebagai mana Engkau menyayangi hamba-hamba-Mu

·         Ya Allah, ampuni dosa kami, dosa kedua orang tua kami dan dosa semua orang muslim dan muslimat, baik yang masih hidup maupun yang telah mati.

·         Ya Allah, masukkanlah kami dalam golongan hamba-hamba-Mu yang taat,  bersama nabi-nabi shiddiqian, syuhada dan orang-orangyang shalih.

·         Ya Allah, jadikanlah kami, keluarga kami dan keturunan kami  muslim yang taat.

 

Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan. Kabulkanlah doa permohonan kami.

 

Rabbanaa aatinaa fi d-dunyaa hasanah, wa fi l-aakhirati hasanah, wa qinaa `adzaaba n-naar, wa hamdulillahi rabbil `aalamiin

 

Wa s-salaamu `alaikum wa rahmatu l-Laahi wa barakaatuh


Tags: Irwan Akib, Idul Adha, Haji, Muhammadiyah
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website